My Fiction

 SAD LOVE SONG


(Chapter 1)
Ciiiiiiiiiiiiiitttttttttt…………………..!!!!!!!!!!
Aaaaaaaaaaaaaaa……………………!!!!!!!!
Pikiranku yang sedang kacau membuat mataku tak dapat mengawasi dengan baik saat seseorang melintas di depanku.
Duk! Kecelakaan itupun terjadi. Ku banting pintu dan keluar memeriksa orang yang baru kutabrak tadi. Seorang gadis rupanya. Kuangkat kepalanya, darah berceceran menetes dari pelipis kirinya. Aku cemas.
“Cepat angkat, bawa ke rumah sakit! Ja…ja..!”
Orang-orang telah berkerumun di sekitarku. Tiga orang satpam Korean Bank membantuku memindahkan tubuh lunglai gadis itu ke dalam mobilku.
“Apa anda bisa mengendarainya?” Tanya salah satu dari mereka.
“Ye…tolong hubungi rumah sakit terdekat untuk bersiap di ICU.”
“Ne, segeralah ke rumah sakit jangan sampai terlambat.”
Aku segera memacu laju pajeroku menuju Rumah Sakit Korea. Dua dokter dan tiga perawat serta sebuag tabung oksigen telah tersedia saat kami sampai di tempat. Para perawat segera memindahkan tubuh gadis itu dan mendorongnya kedalam. Aku berlari mengikutinya.
“Agasi, agassi, sadarlah…” Panggilku.
“Apa yang terjadi?” Tanya dokter di sebelahku.
“Kecelakaan mobil di depan Korean Bank Eusanim. Aku tidak sengaja.” Aku berusaha menjelaskan, sambil terus mendorong .
“Baik anda silahkan tunggu di luar, kami akan memeriksanya.”
You are my everything
Nothing you love wont bring
My life is yours alone
The only love I ever known
Suarku sendiri mengalun dari handphoneku. Lama aku mengangkatnya.
“Kibum-a…naya.”
“Hyong…odie? Semua sudah menunggu?
“Kibum-a, miyanhe…aku tak bisa datang. Aku…menabrak seseorang dan …” Suaraku terputus.Nafasku tersengal.
“Hyong…Hyong… odie, aku akan kesana.”
“Rumah Sakit Korea…” Tanganku terkulai lemas.
“Hyong…hyong tunggu aku di sana.” Kibum masih bicara dari seberang.
Aku masih shock. Pikiranku melayang-layang. Tak lama seorang perawat menghampiriku.
“Maaf, apa anda pihak yang bertanggung jawab?”
“Ne…anggukku cepat.”
“Bisa hubungi keluarganya? Pasien kehilangan banyak darah. Saat ini kantong darah yang tersedia di rumah sakit tidak cocok dengan darah pasien, harap membantunya?” Pinta sang suster.
“Gajokieyo?”
Bagaimana aku bisa menghubungi keluarganya? Aku mulai panik.
“Gabang…gabangieyo…” Itu terlintas cepat di pikiranku. Aku berlari secepat mungkin menuju bagian depan rumah sakit dimana mobil tadi kutinggalkan. Ku tarik kasar kenop pintu, dan kudapati sebuah tas biru yang berlumuran darah tertinggal di dalamnya. Aku mencari jigap untuk mengetahui identitasnya.
Tiiit…tiiit…tiit… Handphone gadis itu berdering. Aku ragu untuk mengangkatnya. Bagaimana kalau dari keluarganya? Apa yang harus kukatakan? Aku belum siap? Tapi bagaimana kalau dia mati? Bagaiman aku mempertanggungjawabkan semuanya? Keluarganya pasti akan menuntutku.
“Yoboseyo….” Akhirnya kuangkat juga.
“Seo Hae…odie?” Tanya suara di seberang.
“O….. Rumah sakit Korea. Palli wa…?”
“Pyeongwoon? Wae?”
“Palli wa?” Pintaku. Aku menutup telfon.
Aku berlari mencari perawat di ICCU. Golongan darah Seo Hae, nama gadis itu sama denganku. Kutemui dokter dan memintanya mengambil darahku.
Pintu ruangan terbuka, dua orang masuk menemuiku.
“Apa yang terjadi dengan anak saya? Tanya yang perempuan, mungkin Ibu Seo Hee.
“Miyanhe ahjumma, aku tak sengaja menabraknya. Aku…..” Rasa bersalah yang sangat besar menyelimutiku. Sulit bagiku untuk menyelesaikan kalimatku.
“O…kasihan sekali uri Seo Hae…”
“Miyanhe…jongmal…miyanhe…” Hanya itu yang bisa terucapkan dari mulutku.
Dokter masuk ke dalam ruanganku.
“Bapak, ibu, operasinya berjalan lancar. Sekarang pasien sudah dipindahkan ke ruang rawat, tapi belum sadar. Silahkan mengunjungi.”
Orang tua Seo Hee, dan aku menuju kamar yang di beritahukan. Wajah gadis itu pucat. Perban menyelubungi kepalanya. Aku baru menyadari, Seo Hee memiliki wajah yang sangat cantik dan ayu. Rambutnya hitam panjang melebihi bahu. Kulitnya bersih dan hidungnya mancung. Dia tidur dengan wajah polos seperti seorang bayi. Aku merasa dia mirip seseorang.
Aku meminta orang tua Seo Hee pulang untuk beristirahat. Aku berjanji akan menjaganya dan akan langsung menghubungi bila sesuatu terjadi. Mulanya ibunya tak mau, namun ayahnya berhasil meyakinkan. Mereka pulang dan aku menemani Seo Hee sambil menunggu Kibum dan yang lainnya.
Tiga hari kemudian Seo Hae diperbolehkan pulang.

***
Seo Hae POV
Saat aku membuka mata, pertama kali yang kulihat adalah wajah seorang namja. Namja itu tertidur di kursi yang ada disamping kanan ranjangku dengan bahu miring ke kiri menahan kepala yang terkulai. Aku menarik bantal yang mengalas kepalaku, lalu mencoba duduk dengan menyandarkannnya di balik pungunggku. Siapa dia? Aku memancing memori terakhir di kepalaku. Ah… tabrakan itu. Apa dia yang menabrakku?
Kuamati wajahnya lekat-lekat. Rambut cokelat seperti di tiup topan dari arah belakang. Poni depannya tidak sama panjang namun tetap membuat dia bergaya. Jambang panjang menutupi setengan bagian dari telinganya. Wajahnya lonjong, dengan alis yang tidak begitu tebal tapi tersusun rapi di atas matanya. Bulu mata menutup sempurna kedua kelopak matanya yang terpejam. Hidungnya tinggi dengan tulang pipi yang tidak begitu menonjol. Bibirnya yang terkatup membuat pesonanya sangat dalam di mataku. Sangat tampan. Itu kata yang bisa ku ungkapkan tentangnya. Tiba-tiba pintu terbuka.
“Sudah sadar?” Tanya seorang pria yang baru masuk.
Aku bertambah bingung, siapa lagi ini? Bila kubandingkan dia lebih tampan dari pria yang tadi.
“Jonun Kim Kibumimnida”, dia memperkenalkan diri. Seolah membaca pikiranku dia berkata, “Jangan takut aku temannya.” Dia menunjuk pria yang disamping kananku dan menarik sebuah kursi lalu duduk di sisi kiri tempat tidurku.
“O….sudah sadar?” Pria itu terbangun. Mengucek-ucek matanya lalu menguap menutup mulut dengan kedua belah tangannya.
Aku mengagguk.
“Apa masih ada yang sakit?” Tanya pria di kananku.
“Ani, na gwaenchanayo.”
“Hyong…wajahmu terlihat sangat letih. Cucilah supaya lebih segar. Aku akan menemani Seo Hae.” Kata yang di sebelah kiri.
“Gurae…” Pria yang di panggil Hyong tadi beranjak meninggalkan kami.
“Chogi….”
“Ye…”
“Anda siapa? Dan pria tadi juga siapa? Kenapa kalian ada di sini?” Tanyaku penasaran.
“O…miyanhe, jongmal miyanhe. Tadi itu Donghae Hyong, dia yang telah menabrakmu kemarin. Aku rekan kerja satu timnya. Donghae Hyong tak sengaja menabrakmu kemarin, pikirannya sedang kalut. Kuharap kau mengerti dan bisa memaafkan kekhilafannya.”
Tapi senyum oppa ini membiusku hingga tak bisa mengucapkan sepatah katapun.
Setelah hari itu kami menjadi dekat. Eomma bercerita kalau Donghae Oppa memberikan darahnya saat rumah sakit tak punya persediaan untukku. Awalnya Uri Appa ingin melaporkan tabrakan ini pada polisi namun melihat ketulusaan hati dan penyesalan dari Donghae Oppa, Appa tidak lagi mempersoalkannya.
Sejujurnya ada satu yang selalu membuatku penasaran. Entah kenapa,sejak bertemu Donghae Oppa, aku selalau merasa aman bersamanya. Dia begitu hangat dan membuatku nyaman. Karena aku anak tunggal, eomma dan appa mengizinkanku menganggap Donghae Oppa sebagai keluarga sendiri.

***

Donghae POV
“Seo Hae-ya!”
“Oppa……”
Jang Seo Hae, gadis yang kutabrak waktu itu. Usianya enam belas tahun. Dia di tingkat pertama sekolah menengah Neul Param. Belakangan ini dia sering mengikuti jadwal manggung kami, sepertinya dia kesepian di rumah karena kedua orang tuanya sering bepergian keluar negri. Aku mengizinkan tentu saja setelah dia pulang sekolah. Seperti hari ini Seo Hae dengan masih memakai seragam duduk di lantai mengerjakan tugas rumah sambil menunggu kami di belakang panggung. Dia segera berdiri saat melihatku dan kawan-kawan. “Oppa, gwaencahanayo?”
“Wae…kau mencemaskanku?”
“Ye… Dia menyeka keringatku dengan sapu tangannya. “Apa semua berjalan lancar?Apa kau sangat lelah? Mau kuambilkan air?” Dia memberondongku dengan pertanyan.
“Ya…ya… Seo Hae-ya kau hanya akan memperdulikan oppamu? Bagaimana dengan kami?” Hee Chul Hyong menggodanya dengan pura-pura marah. Tidak hanya denganku, dengan semua member dia sangat dekat. Merekapun sudah menganggap Seo Hae sebagai bagian dari kami.
“Ne oppa, arasso.” Dia pindah menyeka keringat Heechol Hyong yang sudah berdiri di samping kami. Keureonde, Hee Chul Oppa, no gwaenchana?”
“Wae? Nae-ga wae?”
“Ani… kau bilang kau tidak suka berkeringat. Bukankah di setiap penampilan kau akan berkeringat. Tapi kini aku tahu jawabannya kenapa?” Seo Hae menjepit hidungnya dengan jari.
“Ya…Seo Hae-ya, akan kuberikan keringat ini padamu.” Heechul Hyong menggosok handuk yang tadi dipegangnya ke bawah lengan, mencoba menjangkau Seo Hae yang bersembunyi di belakangku. Kami tertawa melihat tingkah mereka.

***
Beberapa hari kemudian.
Tiiit…tiiit…tiiit. Handphoneku berbunyi. Ku lirik dengan mata setengah terpejam, sudah pukul delapan pagi. Ku gapai handphone yang tergeletak di meja samping ranjangku. Seo Hae.
“Oppa… apa hari ini kita jadi ke taman bermain?”
Oahh… Aku menguap. “Kau membangunkanku hanya karena ini?”
“Ne…aku hanya ingin memastikannya. Aku khawatir kalau kau tiba-tiba ada jadwal lalu membatalkan janji kita sementara aku sudah menunggumu seperti waktu itu.”
“Arasso…hari ini benar-benar free. Kau tunggu aku di depan gerbang ya?”
“Ne, arasso oppa.”
Aku menutup telfon, bangkit hendak ke kamar kecil tapi handphoneku berdering lagi. Aku ingin mengacuhkannya, tapi membaca nama yang tertera di layar membuatku penasaran.
“Na-ya, wae?”
“Oppa, buka pintunya, aku ada di depan?” Dia menutup telfon.
Soo Bin di sini? Mau apa? Aku melangkah menuju pintu.
“Oppa….aku mau bicara denganmu.” Soo Bin menerobos ke dalam.
“Hyong kenapa kau membawa perempuan masuk?” Kibum muncul dengan masih memakai handuk, dia segera berlari ke kamar.
“Miyanhe Kibum.” Aku berpaling pada wanita tadi. “Ada apa kau kemari?”
“Oppa, aku mau kembali padamu.”
“Soo Bin-a…” Aku menutup mulutnya. Kutarik dia ke kamarku. Eetuk Hyong baru akan keluar dari kamar.
“Hyong aku pakai kamar sebentar.”
“Hm…jangan lakukan yang aneh-aneh.” Katanya.
Ku hempaskan Soo Bin di kasur. Soo Bin, wanita yang dulu pernah kucintai. Sebenarnya dia gadis yang baik, berasal dari keluarga terpandang, yang segala kebutuhannya disiapkan oleh pelayan. Harta yang melimpah membuat dia tumbuh menjadi gadis manja dan bersikap sesuka hati. Bila suka dia ambil, bila tidak dia akan membuangnya seperti sampah yang teronggok di jalanan. Sebelum kecelakaan itu dia memutuskanku. Alasannya karena aku tak punya banyak waktu untuknya, dan dia sudah mendapatkan penggantiku. Karena sangat mencintainya aku tak bisa terima pada awalnya. Aku hendak ke pantai melepaskan beban hatiku. Ku pacu laju pajeroku dengan kencang melintasi jalanan kota, sekencang perasaanku yang tak menentu. Pikiranku yang galau dan tak berujung menyebabkan aku tak semapt menghindari tabrakan waktu itu.
“Oppa..” Dia menatapku.
“Apa lagi yang kau inginkan. Bukankah waktu itu kau ingin putus denganku dan memilih dia. Kenapa kau kembali padaku?”
“Oppa, dia itu pria brengsek yang hanya menginginkan uangku. Dia tidak mencintaiku. Aku tak mau lagi bersamanya.”
“Itu urusanmu, hubungan kita, kau sudah mengakhirinya. Aku tak ingin mengulangnya lagi.”
You are my everything
Nothing you love wont bring
My life is yours alone
The only love I ever known
Handphoneku berdering lagi. Ku angkat cepat.
“Seo Hae-ya, waegurae?”
“Oppa apa aku harus membawa bekal? Eomma memintaku menanyakannya padamu.”
“That’s good idea.”
“Arasso, sampai nanti oppa.”
“Ne…” Kututup telfon dari Seo Hae.
“Oppa, secepat itu kau sudah menemukan penggantiku?” Soo Bin menatapku..
“Bukan urusanmu, pergilah! Aku mau mandi.” Kubuka pintu dan ku tarik dia keluar. Soo Bin melepaskan pegangan tanganku.
“Oppa kau tak mau lagi kembali padaku karena wanita itu? Kau mencampakkanku?” Dia menjejeri langkahku.
Kulemparkan handuk ke kursi. Kutatap matanya dalam-dalam. Aku mulai emosi. “Siapa yang mencampakkan siapa?”
“Lalu kenapa kau berkencan dengan wanita itu?”
“Soo Bin-a, itu bukan urusanmu?” Aku menekan suaraku.
Soo Bin merentangkan tangannya menghalangi jalanku. “Oppa, jika aku tak bisa memilikimu maka orang lain juga tidak.” Ia bicara tegas, lalu berlari ke arah dapur.Dengan pisau di tangan kanan ia mengancamku.
“Oppa, aku tak mau kau meninggalkanku, lebih baik aku yang meninggalkanmu.” Aku tak bisa mencegah. Nekad Soo Biin mengiris pergelangan tangan kirinya.
“Soo Bin-a.” Aku berteriak, tapi sudah terlambat. Darah segar telah mengalir. Ku rebut pisau yang masih dalam genggamannya lalu kubanting ke lantai. Member lain keluar mendengar keributan kami.
“Weire…?” Tuk-Tuk Hyong menanyaiku.
Dengan memeluk Soo Bin aku berkata, “Hyong tolong hubungi 119! Soo Bin mengiris pergelangan tangannya.”
“Mwo…? Arasso.” Suaranya panik.
Kibum membantuku menutupi luka Soo Bin dengan handuk, berusaha menghentikan pendarahannya. Hankyong Hyong membuka pintu lebar-lebar. Kami membawa Soo Bin turun ke bawah dimana mobil ambulance sudah menanti.

***
Di tempat lain.
Aku mondar mandir seperti setrikaan panas. Sudah sore begini Donghae Oppa belum juga datang. Apa ada acara mendadak ya? Aku bertanya dalam hati. Kucari nama Donghae Oppa di layar ponsel. Nomernya tidak aktif. Apa terjadi sesuatu pada oppa? Aku mulai khawatir. Kuhubungi sekali lagi tapi jawabannya masih sama. Sudah lama aku menunggu, dan langit mulai gelap. Tanda-tanda oppa akan datang tak terlihat sama sekali. Aku melangkah kecewa meninggalkan taman bermain.
Kutekan bel berulang-ulang, tak ada yang membukakan pintu. Kuputuskan untuk menunggu. Dan akupun terlelap.

Lama setelah itu.
“Kyong, apa kau melihat bagaimana Soo Bin tadi mengiris tangannya?” Hee Chul bertanya pada Hankyong.
“Ani…aku hanya melihat saat Kibum membungkus tangannya.”
“Tapi untunglah dia baik-baik saja. O…siapa itu di depan pintu?”
“Ne…siapa ya?”
“O… Seo Hae. Heechul meletakkan telunjuknya ke bibir memberi isyarat. “Ssstt…dia tertidur.”
“Buka pintu, aku akan mengangkatnya. Kenapa dia malam-malam ada di sini? Apa dia tidak kedinginan? Hyong tolong bawakan keranjangnya, aku akan membawanya ke kamar kita.” Hankyong mengangkat Seo Hae.

Dini hari…..
“Di mana aku?” Perlahan ku buka mataku.
“Dorm Suju? O…Oppa? Oppaaa? Aku memanggil Hankyong oppa yang tidur di kasur sebelahku.
“Seo Hae-ya kau terbangun?”
“Ne… aku lapar.” Aku merengek.
“Kau belum makan malam?” Tanyanya.
“Belum makan siang dan malam.”
“Mwo? Kenapa bisa begitu, ayo bangun ku buatkan makanan.” Hankyong Oppa menarik tanganku.Kami berdua berjalan menuju dapur. Hankyong Oppa membuatkan nasi goreng Beijing untukku.
“Seo Hae-ya, kenapa kau malam-malam ke dorm dan tertidur di depan pintu?” Dia menanyaiku.
“Aku berjanji dengan Donghae Oppa akan ke taman bermain siang ini. Tapi sudah enam jam menunggu dia tidak datang. Ku hubungi handphonenya tidak aktif, jadi aku ke dorm mencarinya.” Aku bicara sambil mengunyah nasiku.
“Enam jam? Kau menunggu Donghae-ya selama enam jam?”
Aku mengangguk.
“Oahhhh…… siapa yang membangunkanku?” Heechul Oppa rupanya terjaga mendengar suara kami. Dia menggeliat lalu menggosok matanya.
“Siapa yang membangunkanmu hyong?” Hankyong Oppa memandangnya.
Heechul Oppa mengendus-endus seperti anjing. “Kyong kau memasak?”
“Ye… Seo Hae kelaparan jadi aku membuatkan nasi goreng untuknya.”
“Apa masih ada lagi? Ambilkan aku sepiring.” Dia mengambil posisi di sebelahku.
“Kau lapar juga?”
“Tidak tapi melihat monyet kecil ini makan, aku jadi lapar.”
“Arasso.” Hankyong Oppa bangkit.
“Seo Hae-ya, kau setia sekali. Kenapa tidak pulang saja?” Rupanya Heechul Oppa mendengar pembicaraan kami.
“Tentu saja harus tunggu, kan sudah janji, oppa. Tapi Donghae Oppa kemana ya? Kenapa tadi ku lihat ke kamarnya masih tidak ada. Hanya ada oppa berdua di rumah?”
Hankyong Oppa datang dengan sepiring nasi goreng plus telur dadar. “Makanlah sudah dingin kok.” Katanya sembari duduk.
“Kenapa ada dua sendok.” Heechul oppa heran.
“Kita berdua babo?”
“Kau lapar juga ternyata.” Pasangan sahabat itu berdebat. Mereka mengacuhkanku.
“Oppa, kemana Donghae Oppa?” Tanyaku lagi.
“Sesuatu terjadi tadi pagi dan kini dia ada di rumah sakit.” Heechul Oppa menyuapkan sendok pertamanya.
Aku terkejut, langsung meletakkan sendokku.“Donghae Oppa apho?”
“Ani…ani bukan dia, mantan pacarnya. Kini oppamu itu menungguinya di rumah sakit.”
“Mantan pacar?” Hatiku kecewa, Donghae Oppa membatalkan janji kami karena mantan pacarnya sakit. Kenapa dia tidak memberitahuku.
“Seo Hae-ya,” Hankyong Hyong membuyarkan lamunanku. “Tadi appamu menelfon kemari tapi kau masih tidur. Aku memintanya mengizinkanmu menginap malam ini, jadi kau jangan khawatir.”
“Gomabsumnida oppa.” Surakau pelan.

***

Pagi ini aku berangkat ke sekolah. Tadi Donghae Oppa sudah menelfonku meminta maaf atas ketidakhadirannya waktu itu. Mengenai mantan pacar, oppa tak menyinggungnya sama sekali. Hatiku sakit jika teringat ada wanita selain aku disampingnya.
You are my everything
Nothing you love wont bring
My life is yours alone
The only love I ever known
Handphone ku berdering. (Ah… kalian pasti mau bilang, kok sama dengan ringtone Donghae Oppa? Tentu saja. Itulah caraku mencintainya. Sejak mengenal Donghae Oppa aku selalu ingin menyamakan apapun yang bisa kusamakan dengannya, hehehe).
“Yoboseyo?”
“Jang Seo Hae ssi?” Suara dari seberang.
“Ne…” Jawabku.
“Bisakah siang ini anda bersama orang tua datang ke rumah sakit? Ada yang perlu kami perbincangkan dengan anda.”
Rumah sakit? Bersama orang tua? Aku bergumam sendiri.
“Ne…algesumnida.” Kututup telfon.
Sepulang sekolah aku segera menuju rumah sakit. Di dalam ruangan, dokter menanyai orang tuaku. Ku katakan mereka ada di luar negri. Awalnya dokter tak ingin memberitahuku karena usiaku yang masih muda dan tidak bersama wali. Namun aku memaksa dan berjanji akan langsung memberitahu mereka begitu mereka kembali. Sesuatu yang sangat serius telah terjadi atas diriku.
Kamarku dengan desain laut dan dinding berwarna biru serta beberapa gambar ikan kecil sedang berenang di dalamnya menjadi saksi atas kesedihanku. Kutumpahkan semuanya di atas bantal yang basah oleh air mata. Aku belum bisa mempercayainya.

***

Ting..tong… kutekan bel dorm di lanta dua belas ini. Kibum Oppa membukakan pintu.
“Uri Seo Hae-ya, oso oseyo.” Senyum hangatnya menyambutku.
“Oppa…jangan tersenyum.”
“Wae?”
“Aku bisa mati karenanya.” Candaku.
“Uri Seo Hae sudah pandai merayu oppanya ya?” Kibum Oppa mengacak-acak rambutku dan mengecup keningku sayang.
“Gurae…apa yang akan kita buat oppa?”
“Tentu saja sup rumput laut. Tak ada yang lebih baik dari itu untuk seseorang yang sedang berulang tahun.”
“Gurae…shijak.” Kami melangkah menuju dapur.
Kami berdua di bantu Hankyong Oppa membuat sup rumput laut untuk Donghae Oppa. Sementara Heechul Oppa dan yang lain menghias ruangan untuk pesta nanti. Kue tar kecil dengan sebatang lilin telah di buatkan Ryewook Oppa untuk memeriahkan hari ini. Rasanya semua sudah sempurna.
Tiba-tiba kepalaku pusing dan ku rasakan darah mulai mengalir di hidungku. Aku tahu ini kenapa. Ku sambar tas yang ada di diatas meja makan dan segera berlari menuju kamar kecil. Kibum Oppa melihat tingkah anehku menatap penuh tanda tanya. Kuminum obatku dengan cepat.. Aku tak ingin membiarkan orang lain mengetahui keadaanku. Kuseka dengan tisu toilet darah yang mengalir di hidungku. Aku duduk agak lama menunggu reaksi obat bekerja.
“Seo Hae-ya, no gwaenchanayo?” Suara Kibum Oppa menggedor pintu.
“Gwaenchanayo.” Aku terkejut, segera berdiri membuka pintu. Aku tak sadar telah meninggalkan sesuatu.
Saat keluar kudapati Kibum Oppa sudah menunggu di depan pintu. Dia memandangku dalam diam. Lalu masuk ke toilet. Aku tersenyum menutupi kekagokanku.

Tak lama.
“Cepat…cepat sembunyi….” Eetuk Oppa memberi aba-aba. Sepertinya Donghae Oppa sudah datang.
Tiiit. pintu terbuka…..lampu dinyalakan, lalu.
“Saengil chukahamnida … saengil chukahamnida… saranghanta Lee Donghae, saengil chukahamnida.” Kami bersama-sama menyanyikan lagu ulang tahun untuk Donghae Oppa tercinta. Oppa terlihat sangat bahagia, tersenyum memeluk kami semua. Sebuah kecupan hangat mendarat di keningku.
“Gomawo Seo Hae…” Donghae Oppa memelukku erat.
Ting tong… bel berbunyi.
Songmin Oppa membukakan pintu. “Soo Bin ssi…deureooseyo, kami sudah mulai.” Ujarnya.
Aku menatap wanita itu dari ujung kepala sampai ujung rambut. Dongahe Oppa menyambutnya dengan pelukan. Inikah mantan pacar oppa? Kenapa Oppa mengundangnya. Aku tak senang.
“Soo Bin ssi bilang ingin ikut merayakan ulang tahunku bersama kita.” Donghae Oppa menjelaskan tanpa ditanya.
“Ayo bergabung.” Yesong Oppa mengajaknya ke tengah ruangan.
Sebenarnya pesta kecil kami malam itu cukup meriah. Namun hatiku sudah tak enak saat wanita itu menginjakkan kakinya di dorm. Sepanjang acara mataku tak kualihkan sedikitpun dari wanita itu. Tangannya terlalu ramah menyentuh Donghae Oppa. Aku benar-benar tak suka. Seseorang menyentuh pundakku.
“Seo Hae-ya gwaencahanayo?” Kibum Oppa ternyata.
“Mm….entahlah” Aku memandangnya.
“Mau pindah duduk? Kulihat kau tak nyaman sama sekali.”
Aku bingung tak tahu harus berkata apa. Donghae Oppa mengacuhkanku sejak wanita itu datang.
“Oppa, aku mau pulang saja.”
“Waeyo?”
“Kau benar, perasaanku tak nyaman.”
“Seo Hae, kita bermain kartu yuk?” Eunhyuk Oppa menyela di tengah pembicaraan.
“Yang kalah harus melepas satu persatu pakaiannya, otokhe?” Shindong Oppa ikut nimbrung, aku tahu dia bercanda.
“Anieyo oppa, aku sudah letih. Aku mau pulang saja.” Aku tidak berbohong, sepertinya hari ini aku terlalu banyak berfikir.
“O…sayang sekali kalau begitu.” Eunhyuk Oppa mencubit pipiku. “Kuantar pulang yah.” Tawarnya.
“Aku saja hyong yang akan mengantarnya.” Kibum Oppa memotong.
“Mau pulang Seo Hae?” Donghae Oppa rupanya mendengar pembicaran kami.
Aku mengangguk.
“Kuantar ya?”
“Kibum Oppa akan mengantarku. Oh ya oppa ini hadiah dari eomma dan appa ku. Yang ini dariku.“ Aku menyerahkan dua bungkusan kado padanya.
“Gamsahamnida, sampaikan terima kasih dan salamku untuk orang tuamu ya.”
“Ne, algessumnida.” Donghae Oppa memelukku. Disusul Hee Chul, Eetuk dan Hankyong Oppa. Yang lain mengucapkan salam dan memintaku berhati-hati dalam perjalanan. Aku mengaggukkan kepala menghargai kasih sayang mereka.
Saat akan keluar, mataku tertarik lagi pada wanita itu. Dia memunggungiku namun masih saja bergelayut manja di pundak Donghae Oppa, tertawa menggoda di tengah ruangan bersama oppa-oppa yang lain. Kalau tidak ditarik Kibum Oppa aku akan terus menatapnya hingga wanita itu menyadari ketidaksukaanku.
Di dalam mobil.
“Seo Hae-ya…apa kau sedang marah?” Kibum Oppa menanyaiku sambil terus menyetir.
“Ye…” Aku tersadar dari lamunanku.
“Apa kau marah pada Soo Bin?”
“Marah? Entahlah, aku tak tahu. Aku hanya merasa dia telah mencuri oppa dariku. Mengingat sikapnya yang manja pada oppa, nan jinca shiroyo.”
“Sudahlah, jangan dipikirkan. Seo Hae-ya.” Dia diam sebentar. “Apa kau sedang sakit?” Tanyanya padaku sambil terus menyetir.
“Aku sakit? Ani … na gwaencaha oppa.”
Hati-hati sambil terus menatap jalan, tangan kanannya mengeluarkan sesuatu dari kantong jaket. Botol plastik berwarna putih seukuran genggaman tangan. Aku sangat mengenalnya. Itu botol obatku.
“Aku menemukan ini di toilet setelah kau keluar tadi.”
Aku diam saja.
“Katakan padaku, kau bisa mempercayaiku.”
Aku masih diam.
Oppa memberi tanda hendak ke pinggir jalan. Dia menghentikan mobil, lalu memandangku. “Seo Hae-ya, ini adalah obat kanker. Aku sudah menanyakannya pada dokter kenalanku. Jadi jangan berbohong.”
Aku masih diam tak bergeming. Memikirkan apakah aku akan mengiyakannya atau tidak. Ku gigit bibir bawahku. Kuluruskan pandanganku ke depan, aku tak berani menatap matanya. Lama, baru aku menjawab.
“Aku menderita leukemia. Saat ini masih bisa di bantu dengan obat. Orang tuaku tidak mengetahuinya. Jangan katakan pada siapapun terutama Donghae Oppa. Kuharap oppa bisa merahasiakannya untukku.” Aku mengambil obat itu dan menyimpanya kembali ke dalam tas.
“Leukimia? Sejak kapan? Kenapa kau ingin merahasiakannya?”
“Sudah tiga bulan ini. Aku masih bisa bertahan dan tak ingin merepotkan orang lain. Oppa berjanjilah padaku tak akan memberitahukannya pada siapapun.”
“Andalkan aku kapanpun kau membutuhkanku. Arasso?” Kibum Oppa menggenggam tanganku.
Dengan senyum, ku ajukan jari kelingkingku padanya, dia mengaitkan kelingkinya.
***
(Chapter 2)
Setelah hari itu kondisiku mulai memburuk. Pusing dan mual lebih sering mengunjungiku dari biasanya. Berat badanku menyusut dan rambutku mulai rontok. Tapi aku masih mencoba untuk bertahan dengan obat-obat dan kemoterapi yang di berikan dokter. Hingga aku terduduk lemas nyaris pingsan di back stage saat menunggu oppa-oppaku turun panggung. Aku berusaha mencari obatku. Tapi karena panik obat itu terlepas dan menggelinding jatuh kebawah kursi.
“Seo Hae-ya, no gwaenchanayo?” Kibum Oppa meyerahkan obat itu padaku. Kuamati sekeliling hanya ada Kibum Oppa.
Tubuhku lemas kehilangan tenaga.“Oppa, keluarkan aku dari sini.” Pintaku.
Oppa memapahku menjauhi studio mencari sebuah sudut yang tak terlihat orang lain. Aku menengadahkan kepala memandang langit-langit berusaha menahan kucuran darah dari hidungku. Oppa menyandarkanku di sudut ruangan lalu mengeluarkan botol air dari tasku. Dia menangis memelukku.
“Apa sakit sekali? Seo Hae-ya sampai kapan kau mau menyembunyikan ini?” Tanyanya padaku.
“Oppa, kau sudah berjanji padaku, jangan melanggarnya sampai aku siap.” Dengan suara lemah aku memohon padanya.
“Tapi ini bukan penyakit biasa, ini kanker, kanker darah.”
“Mwo? Kanker darah? “ Tiba-tiba Hankyong Oppa dan Heechul Oppa muncul dari balik tembok.
“Hyong?”
“Oppa?”
Kibum Oppa dan aku sama-sama terkejut.
“Kami mengikuti kalian dari tadi. Aku pikir kalian …..” Heechul Oppa memutus kalimatnya.
“Benarkah kanker darah?” Hankyong Oppa menghampiri kami.
Kibum Oppa hanya mengagguk.
Hankyong Oppa mengambilku dari pelukan Kibum Oppa lalu gantian memelukku erat, seolah-olah aku hanyalah boneka yang bisa dipindah tangankan dengan cepat.
“Oppa, jangan katakan pada siapapun.” Aku masih meminta dengan suara lemah.
Heechul Oppa membelaiku sayang.
Malam itu aku pulang diam-diam diantar Kibum Oppa. Heechul dan Hankyong Oppa akan memberi jawaban yang baik bila Donghae Oppa menanyaiku nanti.

***

Hari ini Donghae Oppa memintaku datang ke dorm. Katanya akan mengajakku jalan-jalan karena kami sudah lama tidak pergi berdua. Kegiatan manggungnya yang sangat padat, sementara kemo rutinku tak bisa dihindari. Membuat kami jarang bertemu.
Aku menyapukan sedikit perona merah ke pipiku. Kuharap pucat wajahku tak begitu terlihat. Setelan panjang berwarna putih bergaris hijau dengan syal berwarna senada membalut leherku. Topi bundar yang juga berwarna putih dan pita hijau menutupi rambutku. Kutatap wajahku sendiri di dalam kaca. Seulas senyum menghias bibirku, aku ingin tampak cantik bila bersama oppa.
Ku tekan bel dorm dan berharap oppaku itu yang akan membukakan pintu. Namun bukan Donghae Oppa bukan pula oppa-oppa yang lain, melainkan wanita itu.
“Masuklah. Donghae sedang berpakaian.” Katanya.
Aku diam saja sambil terus melangkah masuk.
“Aigo…aigo, lihat siapa ini yang datang. Little princess kita. Uri Seo Hee yang cantik. Mau pergi berkencan dengan oppa ya?” Lagi-lagi Hyukjae Oppa menggodaku.
“Baru bangun oppa?” Tanyaku. Dia menguap. “Pergilah mandi.” Aku menutup hidungku.
“Arasso.” Hyukjae Oppa melangkah meninggalkanku.
Ku dengar suara pintu terbuka.“Seo Hae-ya” Heechul Oppa keluar dari kamarnya. “Kau baik-baik saja?”
Aku mengangguk tersenyum.
“Aigo, benar-benar cantik. Seikat lili putih akan membuatmu semakin sempurna. Mintalah Dongahe Oppa membelikannya untukmu, arasso?”
“Kenapa tidak kau saja yang membelikanku oppa?” Tanyaku sambil melemparkan tas dan menghempaskan tubuhku di sofa.
“Kau mau aku yang memberikannya?” Heechul Oppa duduk di sebelahku.
Aku tersenyum.
“Nanti Kyong marah. Katanya kau tidak masuk hitungan, he…he…jangan marah ya? Aku bertaruh padanya kalau dalam seminggu ini akan ada 10 wanita yang akan menerima bunga dariku.” Oppa mengangkat ke sepuluh jarinnya. “Dan aku pasti akan memenangkannya.”
“Ye.. tapi sampai hari ini belum ada satupun yang menerimamu.” Hankyong Oppa bergabung bersama kami.
“Biar saja, kau akan menerimanya dariku nantikan Seo Hae?” Heechul Oppa merayuku sambil mengedipkan matanya.
“Oppa berarti aku seperti tong sampah, wanita terakhir yang akan menerima mawar setelah tak seorangpun ingin mengambilnya darimu?”
“Ani, justru kau akan menjadi satu-satunya wanita di dunia ini yang bisa melihat kehadiranku sebagai lelaki sejati. Saranghaeyo, dongsaengku sayang.” Dia mencubit pipiku.
“Andwae.” Hankyong oppa melarangku. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat tingkah keduanya.
“Kalau kau punya begitu banyak pria di sekelilingmu, kenapa kau masih mengejar Donghae Oppa Seo Hae?” Wanita yang sejak tadi hanya diam memandang kami, bicara.
“Apa maksud eonnie?” Tanyaku balik. SooBin ssi lebih tua tiga tahun dariku.
“Tidak ada, aku hanya merasa penghuni dorm ini sangat menyukaimu namun kenapa kau tidak melepaskan Donghae Oppa dan kau dengan mudah bisa memilih salah satu dari mereka?”
“Apa maksud ucapanmu barusan?” Heechul Oppa menatapnya tajam.
“Apa perkataanku salah?” Eonnie tak menyadari ucapannya.
“Kau membosankan dan berfikiran sempit. Pantas saja Donghae-ya perlu waktu untuk berfikir. Dan aku heran kenapa berada disisimu menjadi pilihannya? Apa bagusnya dirimu, Soo bin-a? Gaja Kyong, kita pergi.” Dua oppaku tadi beranjak meninggalkan kami.
Aku diam tak ingin bertengkar dengannya.
“O…. Seo Hae-ya”. Hankyong Oppa memutar kepalanya. “Pergilah dengan Donghae Oppa, tapi jangan terlalu lelah ya, arasso?”
Aku tersenyum memandang punggung keduanya.
“Kau jawablah pertanyaanku?” Wanita itu mengalihkan pandangannya padaku.
“Kenapa aku harus menjawabmu eonnie. Siapa kau sampai aku harus mematuhi perintahmu?”
“Tentu saja aku adalah pacar Donghae Oppamu itu.”
“Oppa tak pernah mengatakannya padaku.”
“No…”
“Wae? Shiroyo?” Aku masih bersabar.
“Kau benar-benar gadis kecil yang tak tahu malu. Sudah jelas pria yang kau sukai memiliki seorang kekasih yang dicintainya, tapi masih saja seperti anak bebek yang mengikuti induknya.”
“Wanita yang dicintai? Apa Donghae Oppa pernah bilang cinta padamu?”
Gagap dia menjawab pertanyaanku. “O…dia akan mengatakannya segera.”
“Jinca? Kau terlalu percaya diri. Oppaku tak semudah itu untuk berkata cinta apalagi pada wanita sepertimu?”
“Wanita sepertiku? Apa maksudmu?”
“Kau pandanglah cermin lalu tanyakan pada dirimu sendiri, kau wanita seperti apa rupanya?” Kutahan emosiku, kepalaku mulai berdenyut lagi. Aku berdiri hendak ke dapur mengambil minum. Wanita itu menjejeri langkahku marah.
“Kau… coba katakan apa maksudmu?”
Ku pegangi kepalaku yang sudah berat. “Ingin kuperjelas?” Aku menantangnya.
“Katakan!” Pintanya.
“Aku memang punya banyak oppa di sekelilingku, dan mereka menyukaiku. Mereka sudah menganggapku sebagi adik sendiri. Jika aku adalah anak bebek yang mengikuti induknya itu wajar saja. Aku selalu datang jika oppa membutuhkanku dan oppa-oppa selalu ada bila aku memerlukannya. Sementara kau, apa yang kau lakukan pagi-pagi buta di rumah pria yang sudah ada janji dengan wanita lain? Apa kau tidak merasa seperti serigala yang sedang mencari mangsa?”
Dia tersinggung dengan ucapanku barusan. Tangannya terangkat ingin menamparku, namun masih sempat kutepis. Rupanya tepisanku itu terlalu kuat dan membuatnya terdorong hingga hilang keseimbangan. Kepalanya menghantam meja makan yang ada di sisi kiri kami. Tepat saat itu Donghae Oppa keluar.
“Seo Hae-ya, apa yang kau lakukan? Kau ingin mencelakainya?” Dia membentakku, lalu membantu wanita itu berdiri.
Oppa menarik lenganku, menatap wajahku. Kepalaku benar-benar tak tertahankan lagi.
“Ada apa denganmu? Kenapa kau bersikap kasar padanya? Dia berhenti sesaat Kenapa dengan wajahmu?” Kukira oppa memahami kondisiku. Namun.
“Kau mau memelas padaku agar mengampuni perbuatanmu tadi?”
Kutatap mata Donghae Oppa. Dia melepaskan tanganku, aku hampir jatuh dibuatnya. Untunglah Kibum Oppa segera menangkap tubuhku. Kibum Oppa memapahku ke kamarnya. Kulirik Donghae Oppa yang juga memapah wanita itu ke kursi. Samar kulihat kepalanya yang tadi terbentur meninggalkan bekas berwarna biru. Donghae Oppa mengambilkan handuk dan air panas mengompres bengkak di kepalanya. Sementara Kibum Oppa mengambilkan segelas air untukku. Aku meminum obat.
“Gwaenchanayo?” Tanyanya.
“Hanya pusing sedikit.”
“Tak usah pergi, jika kau tak kuat. Aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu.”
Donghae Oppa masuk.
“Gurae, kita batalkan acara kita hari ini. Aku mau mengantar Soo Bin ke rumah sakit. Dia mengeluhkan kepalanya setelah kau dorong tadi.”
“Oppa, aku sudah menunggumu dari tadi.” Aku merajuk.
“Semua ini batal karenamu, kalau kau tidak mendorongnya, maka kita bisa berangkat bertiga sekarang.” Suaranya menahan marah.
“Bertiga? Aku lebih suka tidak jadi pergi dari pada harus bersamanya.”
“Baiklah kalau itu pendapatmu. Kalau begitu kau pulang saja.” Donghae Oppa menutup pintu.
Aku merengut dalam diamku. Kualihkan pandanganku menatap jendela. Aku kesal dengan semua ini.
“Kau ingin pergi kemana? Biar aku mengantarmu?” Kibum Oppa menghiburku.
“Mm … kita ketaman saja oppa?”

Di taman.
Aku memandang riak Sungai Han yang bergelombang kecil. Angin musim semi mempermainkan rambutku. Kurapatkan sweater kesayanganku, hadiah ulang tahun Donghae Oppa tahun lalu. Kibum Oppa pergi membeli makanan dan es krim coklat pesananku. Ku rasa obatku tak bekerja dengan baik. Kepalaku terasa berat lagi, kali ini lebih sakit dari sebelumnya. Pandanganku kabur lalu semuanya menjadi gelap. Saat sadar aku sudah berada di rumah sakit.

***

Kibum POV
Aku melangkah ringan. Sekotak besar pop corn, dan dua potong hamburger serta es krim coklat pesanan Seo Hae sudah kudapatkan semuanya. Dari arah samping kulihat tiba-tiba tubuhnya rebah, kepalanya terkulai. Spontan aku berlari dan membuang semua makanan yang ada di tanganku.
Ku pangku tubuh ringkihnya. Kutepuk-tepuk pipinya. Kupanggil-panggil namanya. Tidak bekerja. Wajahnya pucat sekali. Darah segar kembali mengalir dari hidungnya. Kuangkat tubuhnya dan kumasukkan kedalam mobil. Kecepatan mobilku mungkin sudah di luar batas yang di izinkan untuk kendaraan dalam kota, tapi aku terdesak harus segera sampai di rumah sakit.
Dokter memanggilku ke ruangannya. Kondisi Seo Hae sudah sangat kritis. Obat dan kemoterapi tak lagi mampu menghambat kanker yang bersarang di tubuhya. Dokter memintaku dan pihak keluarga untuk segera mencari donor sumsum tulang belakang untuk menyelamatkan hidupnya. Aku kalut tak tahu harus bagaimana. Ku telfon Heechul Hyong dan memintanya menggantikanku menjaga Seo Hae sementara aku akan menemui appa dan eommanya.
Heechul Hyong datang bersama soulmatenya Hankyong Hyong. Kujelaskan kondisi Seo Hae dan rencanaku menemui orangtuanya.
“Ya…pergilah Kibum-i, kami akan menunggunya disini.” Heechul Hyong menyuruhku segera berangkat. Kami semua sependapat ini tak mungkin disembunyikan lagi dari orang tuanya.
“Aku akan melakukan tes kelayakan apakah sumsumku bisa dipakai untuknya.” Hankyong Hyong memberi ide.
“Gurae, kalau begitu kita gantian saja, setelah kau aku juga akan mencobanya.” Heechol Hyong menyetujui.
“Kalau begitu aku pergi dulu.”
Aku menemui Seo Hae Eomma di rumahnya. Kuminta ia menghubungi Seo Hae Appa agar segera pulang dan berkumpul bersama kami. Seo Hae Appa pulang tergesa-gesa. Kujelaskan dengan hati-hati kondisi Seo Hae yang sebenarnya sesuai apa yang dikatakan dokter.
“Seo Hae sekarang sedang membutuhkan donor sumsum, ayo kita ke rumah sakit melakukannya. Kalian orang tua kandungnya pasti bisa.” Pintaku.
Tapi jawaban yang kudengar benar-benar menyayat hati.
“Nak Kibum, kami sangat merasa sedih atas kejadian ini. Kami benar-benar tak pernah menyangka kondisi Seo Hae akan seburuk ini, selama ini kami hanya mengira dia demam dan kelelahan. Kami benar-benar menyesal sekarang.” Seo Hae Appa berusaha tegar. Eommanya sudah dari tadi tak mampu membendung air mata.
“Nak Kibum sebenarnya Seo Hae bukan anak kandung kami.”
Aku terkejut mendengarnya.
“Dulu istriku sedang hamil anak kami yang pertama. Istriku menderita kanker hati dan harus segera di operasi. Dokter mengatakan kalau janin yang ada dikandungannya tak bisa dipertahankan karena kanker itu bisa membunuhnya. Akhirnya kami harus merelakan putri kami tersebut dan rahim istriku juga diangkat bersamanya. Suatu hari dokter mendapatkan donor hati untuk istriku. Kami tak tahu dari siapa, akhirnya implantasi dilakukan. Dan istriku sehat seperti sediakala.“ Cerita Seo Hae Appa.
Sampai di sini aku mulai mengerti Seo Hae adalah anak adopsi. Kemungkinan sumsum akan cocok menjadi sangat kecil.
“Hari itu setelah operasi seorang dokter pediatri menggendong bayi mungil. Aku tidak tahu karena alasan apa tiba-tiba menangis, seperti ada sesuatu yang hilang dan belum lengkap. Dokter itu masuk ke dalam lift. Esoknya aku menjumpai dokter yang sama masih menggendong bayi itu. Mereka berdiri di lobi anak hendak menyelesaikan administrasi rumah sakit, bersama dua orang wanita paroh baya yang mungkin keluarganya. Tanpa alasan yang jelas aku menangis lagi lalu menghampirinya dan meminta dokter itu untuk mengizinkanku menggendong bayi itu sekali saja. Entah kenapa perasaanku terasa lengkap seolah aku menemukan sesuatu yang hilang dalam hidupku. Sejak saat itu Soe Hae bersama kami.” Seo Hae Eomma mengakhiri ceritanya dengan luapan air mata di wajahnya.
Aku terharu mendengar riwayat hidup Seo Hae.
“Jadi apa yang bisa kita lakukan sekarang, Kibum-i.” Pertanyaan Seo Hae Appa membuyarkan lamunanku.
“Ahjussi, ahjumma sekarang kita ke rumah sakit saja. Kita coba saja lakukan pemeriksaan, siapa tahu ada yang cocok.” Pintaku.
Sesampainya di rumah sakit, Heechul dan Hankyong Hyong mengabarkan sumsum mereka tak cocok. Aku dan kedua orang tua Seo Hae segera melakukan pemeriksaan yang sama, ternyata juga tidak cocok. Seo Hae masih belum sadar. Banyak selang, tabung oksigen dan mesin pembaca detak jantung terhubung ke tubuhnya. Kondisinya benar-benar sangat kritis. Orang tua Seo Hae akan menjaganya malam ini, sehinga aku dan kedua hyongku bisa pulang ke dorm.
Di Dorm, Donghae Hyong sudah ada di rumah. Sesuai kesepakatan, kami belum ingin mengabarkan tentang kondisi Seo Hae padanya. Kuketuk pintu kamarnya, hyongku itu sedang bersih-bersih kamar di dalam. Aku duduk disampingnya.
“Bagaiman keadaan Soo Bin ssi hyong?” Tanyaku..
‘Tak apa, hanya bengak saja. Dokter sudah memberi salep untuk mengurangi bengkaknya. Kau mengantar Seo Hae pulang tadi?”
Aku mengangguk.
“Ku rasa tadi aku terlalu berlebihan padanya, anggure?”
“Ye…” Jawabku.
“Bagaiman keadaanya sekarang? Apa dia menangis?”
”Seo Hae tak akan menangis karena hal kecil tadi.”
Lama tak ada perbincangan. Aku membongkar sebuah kardus tua yang sudah berdebu. Ada sebuah foto dimana seorang bayi dalam incubator dengan banyak selang infus di tubuhnya. Hyong ini fotomu?” Tanyaku.
“O… itu adik perempuanku?”
“Yeodongsaeng? Jigum odie?”
“Entahlah, aku juga tak tahu apa dia masih hidup?”
“Apa yang terjadi padanya?”
“Dia kutinggalkan di rumah sakit.”
“Wae hyong? Ceritakan padaku!”
Hyong menatap foto itu lama.“Waktu itu aku dan eommaku sedang makan malam Tiba-tiba eomma jatuh pingsan. Aku segera menghubungi 119 untuk pertolongan pertama. Dokter mengatakan kalau pembuluh darah di otak ibuku sudah pecah. Sebenarnya bisa dikatakan eomma sudah meninggal, tapi karena sedang hamil adikku yang baru 33 minggu maka dokter memasang sebuah mesin untuk menyambung hidupnya dan adikku. Sehari setelah itu denyut jantung eommaku melemah, operasi caesar harus segera dilakukan untuk mengeluarkan adikku. Sebelumnya dokter mengajukan sebuah permohonan pada kami. Pihak rumah sakit meminta izin untuk mendonorkan hati eomma pada seorang pasien yang sangat membutuhkannya. Aku yang masih sepuluh tahun tak bisa mengambil keputusan. Uri harabeoji mengizinkannya. Harabeoji bilang, biarkan eomma melakukan satu perbuatan baik lagi di ujung usianya. Dan hati eommapun diserahkan. Kami tak tahu pada siapa.”
Donghae Hyong menarik nafas sebentar. “Karena adikku lahir premature, dokter mengatakan dia membutuhkan perawatan intensif sampai dia benar-benar kuat. Kami tak punya biaya untuk menanggung semua itu, dan aku tak pernah tahu keberadaan appaku. Harabeoji dan aku memutuskan untuk meninggalkannya di rumah sakit. Ini adalah satu-satunya kenangan yang kumiliki tentang dia.”
“Hyong kau menyembunyikan rahasia ini?”
“Ani, tapi memang tidak ada yang bisa kuceritakan.”
“Kira-kira kalau masih hidup berapa usia adikmu?”
“Saat itu usiaku sepuluh tahun. Jadi kalau adikku itu masih hidup kira-kira seusia Seo Hae. Karena itulah setiap kali melihatnya aku merasa adikku dalam dirinya.”
“Karena itu kau sangat menyayanginya hyong.”
Hyongku itu tersenyum.
“Aku mau tidur dulu. Anyonghi jumuseyo hyong.” Aku meninggalkan Donghae Hyong.
Dikamar aku mengurai kisah Seo Hae dan hyongku. Aku mengambil kesimpulan dangkal, tapi tak ada salahnya di coba, pikirku.
Esoknya sebelum berangkat ke studio, aku ke kamar Donghae Hyong. Kulihat dia sedang berdiri di depan kaca.
“Hyong, kau sudah selesai?” Tanyaku.
“Ne, waeyo?”
“Ani, eits jamsi ada sesuatu di kepalamu.” Aku mencabut sehelai rambutnya.
“Aww…apa yang kau lakukan?” Dia meringis.
“Sepertinya kau mulai ubanan, jadi kucabut saja.” Aku berbohong.
“Gurae? Mungkin karena pewarnaan rambut belakangan ini.” Katanya.
Kami berangkat ke studio bersama sebelas member lainnya.

***
Seo Hae POV
Sudah seminggu aku di rumah sakit. Kibum Oppa selalu menyempatkan diri mengunjungiku. Secara tak sengaja aku mendengar pembicaraan Eomma dan Appa dengan dokter yang menanganiku.
“Harus segera dioperasi. Saya harap bapak dan ibu bisa segera mendapatkan donor yang cocok. Kami tidak bisa menjamin sampai kapan putri anda bisa bertahan.”
“Apa tidak ada cara lain dok?” Appa bertanya.
Mungkin dokter itu menggeleng, karena mataku tertutup, aku tak bisa melihatnya. Mereka pastilah mengira aku masih tertidur.
Malamnya aku bermimpi. Ada seorang wanita dan seorang kakek memanggilku. Wanita itu mirip denganku. Dia dan kakek itu memakai pakaian serba putih. Dengan lambaian tangan yang lembut dia memintaku mendekatinya.
“Seo Hae ya… Seo Hae ya…” Panggil wanita itu.
Karena tak merasa kenal, aku hanya diam saja mematung memperhatikan mereka.
“Seo Hae-ya, kemarilah. eomma merindukanmu.” Katanya lagi.
Eomma? Dia menyebut dirinya eomma. Pasti dia keliru. Kuputar pandanganku. Semuanya berwarna putih, ada kabut tipis yang menyelubungi tempat ku berdiri saat ini. Tak ada orang lain. Tapi bagaimana wanita itu tahu namaku?
“Seo Hae ya, kau melupakan eomma?” Wanita itu menangis. “Delapan bulan kau berada di rahimku, apa kau tak ingat lagi? Tanyanya.
Delapan bulan? Di rahim? Aku membalik ingatanku. Rasanya memang ada yang seperti itu. Hatiku kosong, sekosong ruangan ini. Perasaan haru meliputi jiwaku. Hening. Waktu berjalan sangat lambat. Aku tak tahu mengapa, tanpa kusadari kakiku melangkah ke tempat wanita yang menyebut dirinya sebagai eommaku.
“Kemarilah nak!” Pintanya sekali lagi. Kakek yang berdiri disampingnya mengangguk-angguk sedih.
Aku menghampirinya, dan dia memelukku erat. Hangat dan nyaman seperti pelukan Oppa. Wangi tubuhnya membuatku merasa tenang. Kupejamkan mataku dalam pelukannya seakan aku tak ingin dia melepaskanku. Harabeoji itu mengusap kepalaku sayang. Tangan-tangan keriputnya mendamaikan hatiku. Oh… air mataku menetes.
“Seo Hae-ya, apa kau sangat sakit.” Tanya eomma.
Aku mengangguk
“Mau ikut dengan eomma?” Tanyanya lagi.
“Eodie?”
“Ke tempat yang kau tak akan merasa sakit lagi.”
“Apa harus sekarang?” Tanyaku.
“Kapan kau mau.” Jawabnya.
“Ada yang harus kuselesaikan. Bagaimana kalau setelah itu?”
Eomma memandang Harabeoji, lelaki tua itu mengagguk.
“Kami akan menunggumu kapanpun kau mau.” Harabeoji menjawab permintaanku.
Samar-samar kulihat seseorang di balik kabut. Donghae Oppa tebakku. Kulepaskan pelukan eomma dengan lembut. Eomma memandangku dengan air mata.
“Eomma, ada seseorang yang ingin kutemui. Eomma bersabarlah menungguku. Jangan jauh dariku. Aku akan memanggilmu setelah semuanya selesai dan kita bisa pergi bersama.” Eomma mengangguk melepaskanku. Tatapan teduhnya membuatku tak ingin jauh darinya.
“Eomma…eomma…” Aku bangun dari mimpi dengan air mata membasahi pipiku.
Aku termenung mengingat mimpiku tadi. Kuambil handphoneku dan kucari nama seseorang.
Esoknya Kibum Oppa datang membawakan seikat lili putih untukku.
“Miyanhe Oppa, mengganggumu saat kau beristirahat.”
“Anieyo, aku senang kau menghubungiku di saat-saat seperti ini. Apa yang bisa kulakukan untukmu.”
Kuceritakan mimpiku semalam. Dia menghiburku dengan mengatakan hanya bunga tidur dan aku tak perlu memikirkannya. Tapi hatiku berkata tidak. Seperti tali yang akan putus, itulah perasanku sekarang. Aku memintanya membawaku ke atap rumah sakit.Kami akan menjalankan rencanaku. Semua berjalan lancar. Aku turun dari atap bersama Kibum Oppa saat matahari mulai terbenam. Aku puas namun sedih dengan rencanaku sendiri.
Aku melihat wanita dalam mimpiku semalam di kamar. Dia berdiri di sisi tempat tidurku seorang diri. Dalam hati aku berkata, “Eomma, aku bisa pergi sekarang.”

***
Kibum POV
Pertunjukkan hari ini berjalan lancar dan berakhir lebih cepat dari yang diperkirakan. Aku bergegas menuju rumah sakit. Seo Hae menghubungiku dini hari tadi. Sepertinya dia bermimpi buruk Suaranya terdengar agak sedikit aneh saat berbicara denganku. Dia merencanakan sesuatu. Kebetulan aku ada keperluan yang penting ke rumah sakit.
Aku menuju ruangan Seo Hae, tak ada yang menjaganya dan dia masih tertidur lelap, mungkin pengaruh obat. Kuganti bunga yang telah layu dalam pot dengan seikat lili yang ku bawa. Kutatap wajah pucatnya dan bibirnya yang mengering. Tak ada lagi keceriaan seorang Seo Hae yang sering menghiasi dorm kami. Hanya desah nafas tidurnya yang kudengar. Kuambil sehelai rambut di atas bantalnya. Rambutnya memang sudah banyak yang rontok akibat kemoterapi yang di jalaninya selama ini. Kutahan air yang ingin tumpah dari mataku..
Aku segera menuju laboratorium. Kuserahkan dua sampel rambut yang telah ku tandai itu. Aku berharap ada pertolongan Tuhan di dalamnya. Saat aku kembali ke ruangannya kulihat dia telah terjaga dari tidurnya.

***
Donghae POV
Di back stage.
“Semua ayo berkumpul!” Eetuk Hyong meminta kami semua mendekatinya.
“Hari ini tunjukkan hasil latihan kita, berikan yang terbaik untuk para ELF. Donghae–ya hari ini kau bernyanyi solo. Aku yakin kau pasti bisa. Hwaiting!”
“Hwaiting hyong.” Aku tersenyum bersemangat.
Sebenarnya hatiku tak semangat yang kuperlihatkan. Pagi ini aku bangun dengan perasaan hampa. Tak biasanya aku begini. Mungkin karena mimpi semalam. Aku bermimpi eomma dan harabeoji meminta izin padaku untuk mengambil sesuatu. Yang kurasa sesuatu itu sangat dekat dan sangat penting untukku, tapi aku tak tahu apa. Aku berusaha menutupi ini dari para members.
“Uri nun Syupo Juni…” Eetuk Hyong memberi aba-aba yang membuyarkan lamunanku.
“Oeo…” Serempak.

Selesai penampilan bersama, kini giliranku bernyanyi solo. Ada sedikit jeda bagiku untuk berganti kostum Mataku mencari-cari seseorang. Biasanya begitu kami turun panggung dia akan selalu berlari menghampiriku. Tapi beberapa waktu ini dia tak pernah menjumpaiku. Apa dia masih marah dengan kejadian waktu itu?
Walau Kibum bilang Seo Hae sedang sibuk, tapi aku merasa ada yang aneh. Kalau ku telfon, eommanya yang mengangkat, jawaban ahjumma sama dengan Kibum, sedang belajar untuk persiapan ujian semester. Rencanaku setelah ini akan kerumahnya. Aku segera bersiap-siap.
“Hyong…ada yang ingin kubicarakan denganmu sebentar.” Kibum memanggilku.
“Nanti saja, sebentar lagi giliranku.”
“Hyong, ini penting.” Kibum memaksaku.
“Apa tidak bisa nanti?” Dia menggelang.
”Kalau begitu katakan cepat.”
“Hyong, ada sesuatu yang kami sembunyikan darimu.”
“Mwo..?” Aku berhenti memperbaiki kerah kemejaku.
Kibum menarik nafas sesaat. Agak ragu untuk meneruskan, dia menggigit bibirnya sendiri.
“Seo Hae–ya, mengidap kanker darah, sekarang ada di rumah sakit.”
“Mwo?” Mataku menatapnya tajam. “Kenapa hal sepenting ini kau sembunyikan dariku?” Aku mengangkat kerah baju Kibum emosi.
“Itu permohonan Seo Hae.” Katanya pelan. Aku melepaskan tanganku darinya.
“Satu hal lagi hyong.” Matanya menatap lurus padaku. “Beberapa hari yang lalu, aku mengantar sampel rambut hyong dan Seo Hae ke laboratorium. Diam sebentar. “Dan kemarin petugas labor menyerahkan hasilnya padaku. Ternyata, DNA kalian cocok, Seo Hae adalah adik yang kau tinggalkan dulu di rumah sakit. Aku sudah mengkonfirmasinya pada orang tua Seo hae.” Kibum menyelesaikan kalimatnya.
Kebingungan meliputi pikiranku. Bagaiman bisa begitu? Kibum memperlihatkan laporan petugas rumah sakit, 95 % hasil tes itu adalah akurat. Seo Hae adalah adik kandungku, dan kini ia terbaring kritis di rumah sakit. Aku menghantam tinjuku ke dinding. Bodohnya aku tak menyadari semua ini.
“Miyanhe hyong, aku baru mengatakannya sekarang. Pergilah ke panggung aku akan menunggumu dan mengantarmu ke rumah sakit setelah ini. Seo Hae membutuhkan sumsummu.”
“Bagaiman bisa kau memintaku sekarang untuk naik ke atas panggung? Aku tak bisa.” Kuhardik dia dalam kekesalanku.
“Hyong, karena itulah Seo Hae tak ingin memberitahumu.Dia takut akan mengganggumu, dia tahu kau akan seperti ini. Hyong ku mohon lakukan demi Seo Hae? Mungkin dia sedang menontonmu saat ini. Dia mengatakan padaku ingin melihat penampilanmu seorang diri di atas panggung menyayikan sebuah lagu untuknya. Pergilah Hyong.”
Semua member sudah berdiri mengelilingi kami. Auranya sudah tak bersemangat lagi.
“Segeralah ke panggung, berikan yang terbaik untuk adikmu Seo Hae.” Heechul Hyong menepuk pundakku. Sepertinya memang hanya aku yang tak tahu keadaan Seo Hae sama sekali.
Aku nyaris tak bisa melangkah. Kupaksa kakiku menuju stage acara. Pikiranku masih berkutat dengan Seo hae.
“Lee Donghae…Lee Donghae…Lee Donghae..” Para ELF memanggilku. Ku fokuskan pikiranku. Ku bayangkan kalau Seo Hae ada diantara barisan ELF yang membawa balon biru. Musik pun mengalun lembut. Sekalipun pikiranku bercabang, aku tetap berusaha untuk fokus pada pekerjaanku. Aku menyanyikan lagu itu sepenuh hati. Dalam hati aku berkata, ini penampilan khusus untuk seorang ELF tercintaku yang terbaring di rumah sakit.
Kutinggalkan panggung utama. Aku berlari mencari Kibum. Dia berjanji akan mengantarku.
“Cepat Hyong, Kibum telah menunggumu di parkiran. Kami akan menyusul setelah acara ini.” Ryewook memberitahuku.
Aku menyusul Kibum ke parkiran. Segera dia membuat kami telah berada di jalan raya menuju rumah sakit.
Keu nuga nuga mworae do nanun sanggwangobdago. Handphone Kibum berdering.
“Ye… ahjumma, naya. Waeyo? O…Gurae…arasso. Kami akan segera sampai.” Kibum panik lalu menutup telfon
“Waeyo?” Aku bertanya cemas.
“Hyong, Seo Hae kritis, keadanya benar-benar buruk. Setelah menonton live panggungmu dia muntah darah dan terjatuh dari ranjang. Dokter sedang mencoba menanganinya.” Kibum panik memberitahuku.
“Palli, palli Kibum-a. Jangan sampai terlambat.”
“Gurae Hyong, akan kucoba.”
Kibum menaikkan kecepatan mobilnya. Jalan-jalan utama masih sibuk tapi untunglah tidak macet. Sesampainya di rumah sakit kami segera berlari menuju ruangan Seo Hae. Eomma dan Appa Seo Hae menunggu di luar dengan cemas. Dokter yang menangani Seo Hae keluar bertepatan dengan datangnya kami.
“Bagaiman keadaan adik saya dokter?” Aku bertanya memburu.
Dokter itu menatapku dan kedua orang tua Seo Hae yang menangis dihadapannya. Kepalanya tertunduk menggambarkan kekalahan.
“Miyanhe … kami sudah berusaha sebisanya, namun pasien sudah tak bisa tertolong lagi, silahkan melihatnya.” Dokter meremas pundakku menguatkan.
“Andawaeeeeeeeee………. Andwae uisanim. Aku bersimpuh di hadapannya. Kau pasti salah. Dia sedang menungguku. Bagaimana kau bisa pergi begitu saja? Bagaimana kau bisa menyerah dalam keadaan ini? Dia belum tahu kalau aku oppanya, aku akan mendonorkan sumsumku untuknya. Jangan pergi uisanim, pastikan sekali lagi. Chebal, chebal uisanim.”
Aku tak ingin mempercayai apa yang baru terjadi. Air mataku tumpah tanpa kusadari. Kibum mengangkatku berdiri. Kami berjalan memasuki ruangan putih itu. Aku menahan nafas saat Kibum menuntunku ke dalam.
Wajahnya sudah di tutupi kain putih. Para perawat melepaskan semua selang yang tadinya mungkin terhubung ke tubuhnya. Kudekati tempat tidurnya. Kusentuh jemarinya, masih hangat namun layar monitor tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Dia baru saja pergi.
Ku genggam tangannya. “Seo Hae-ya … kenapa tidak menunggu oppa? Kenapa meninggalkan oppa? Oppa datang membawa sumsum untukmu. Seo Hae-ya miyanhekarena aku tak menyadari kehadiranmu selama ini. Seo Hae ya maafkan oppa karena dulu oppa pernah meninggalkanmu di rumah sakit. Oppa telah membuatmu menunggu begitu lama hingga kau tertidur di depan pintu. Oppa membatalkan janji kita, oppa menyakitimu. Huhuhu… Seo Hae-ya, Seo Hae-ya kembalilah biarkan oppa membayar semua kealfaan oppa padamu. Seo Hae-ya, bangunlah, bangunlah.”
Kududukkan Seo Hae dan kupeluk tubuhnya yang mulai dingin. Ku kecup matanya. Air mataku membasahi pipinya yang mulai kaku. Semua kenangan tentangnya dan aku kembali dalam ingatanku. Suara tawanya, senyum manisnya, rajukannya saat dia marah, bahkan desah nafas saat aku memeluktubuhnya, aku mengingat semua itu dengan jelas. Aku semakin tak ingin melepasnya lagi.
“Hyong… biarkan dia pergi dengan tenang. Jangan memberatkannya lagi. Dia sudah kesulitan selama ini. Hyong, jangan begini Seo Hae pasti tak menyukainya.” Kibum menghampiriku. Air matanya juga sudah tak terbendung lagi. Kibum memelukku dan jasad Seo Hae yang benar-benar sudah dingin seutuhnya.
Aku menyadari ucapan kibum. Kutidurkan kembali jasadnya. Kuselimuti dengan rapi. Aku berdiri di samping ranjangnya.
“Kau ingin aku menyanyikan sebuah lagu untukmu? Kenapa tidak memintanya langsung? Apa aku begitu buruk sebagai oppamu sampai kau tak mengatakannya padaku? Seo Hae-ya, buka matamu akan kulakukan semua yang kau inginkan.” Suaraku bergetar bercampur tangis.
Kuambil Handphoneku dan kuletakkan diatas lipatan tangannya. Wajah pucatnya tetap meninggalkan seulas senyum di mataku. Senyum terakhirnya. Melodi yang sama mengalun kembali. Aku bernyanyi mengikuti irama.

The loneliness of nights alone
the search for strength to carry on
my every hope has seemed to die
my eyes had no more tears to cry
then like the sun shining up above
you surrounded me with your endless love
Coz all the things I couldn’t see now so clear to me
You are my everything
Nothing your love won’t bring
My life is yours alone
The only love I’ve ever known
Your spirit pulls me through
When nothing else will do
Every night I pray
On bended knee
That you will always be
My everything
You’re the breath of life in me
the only one that sets me free
and you have made my soul complete
for all time (for all time)
You are my everything (you are my everything)
Nothing your love won’t bring (nothing your love won’t bring)
My life is yours alone (alone)
The only love I’ve ever known
Your spirit pulls me through (your spirit pulls me through)
When nothing else will do (when nothing else will do)
Every night I pray
down on bended knee
that you will always be
my everything
oh my everything
Seo Hae-ya SARANGHAEYO…..

Hanya suara tangis yang terdengar saat laguku berakhir. Semua yang berada di dalam ruangan meneteskan air mata, termasuk dokter dan perawat yang tadi berdiri kaku memperhatikanku.
panas terik yang diberi mentari, aku tak bisa merasakannya
kuat angin yang berhembus, aku tak bisa mengenalinya
deras hujan yang mengguyur, aku tak kedinginan karenanya
bahkan bumi bergetarpun aku tetap berdiri tak mengacuhkannya
“Seo Hae-ya hanya ini yang bisa oppa berikan padamu, adikku tercinta, selamat jalan. Saranghaeyo… Eomma dan harabeoji akan menemanimu. Tunggulah oppa agar kita bisa berkumpul kembali. Kututup wajahnya yang damai dengan selimut putih yang tadi menyembunyikannya. Aku berjalan lunglai meninggalkan ruangan itu.

***

Di pemakaman.
Orang tua Seo Hae dan semua member mengelilingi gundukan tanah tempat Seo Hae dimakamkan disamping Eomma dan Harabeoji. Hatiku telah mengikhlaskannya. Mungkin ini yang terbaik untuknya.
“Eomma, Harabeoji, Seo Hae kuberikankan pada kalian. Miyanhe karena tak menjaganya selama ini. Saranghaeyo.”

Di Dorm setelah pemakaman.
“Hyong, ini yang ditinggalkan Seo Hae untuk kita.” Kibum menyerahkan sebuah video padaku. Masih memakai pakaian berkabung, kami duduk di ruang tengah bersama-sama. Kustel video yang tadi diserahkan Kibum. Seorang gadis yang tak lain adalah Seo Hae adikku muncul di layar TV.
“Oppa, annyong. Ani…oppa-oppa annyong. Bagaimana keadaan kalian, Jal jinaieyo? Oppa saat memutar video mungkin aku sudah tak bersama kalian lagi. Oppa-oppa jangan menangis, aku baik-baik saja. Memang sakit, tapi aku bisa menahannya.” Seo Hae tersenyum. Wajahnya pucat, bibirnya kering. Badannya kurus sekali. Dengan topi dia menutupi rambutnya yang menurut Kibum sudah rontok. Dia memakai piyama rumah sakit dan sedang berdiri di atap gedung. Video ini baru di buat.
“Tuk-tuk oppa, terima kasih untuk semua perhatianmu selama ini, aku merasa kau adalah leader terbaik yang pernah kutemui, gamsahamnida.”
“Heechul oppa, mm... terima kasih telah memberiku satu keranjang beeessuuaaar mawar, aku suka sekali. Aku percaya akan ada seorang wanita yang akan mengerti dan mencintaimu dengan tulus.”
“Hankyong oppa, aku pasti merindukan masakanmu.”
“Yesong oppa…miyanhe karena aku pergi terlebih dahulu darimu, ttattakoma pasti akan menemanimu dengan setia. Jangan memarahinya lagi, arasso?”
“Kangin Oppa, Shindong Oppa jangan terlalu lelah bekerja, istirahatlah dan jangan lupa makan. Jangan sampai sakit sepertiku, ara?”
“Hyukjae Oppa, rajin-rajinlah mandi. Wanita tak suka pria yang bau, he..he.. aku hanya bercanda. Hyukjae Oppa kau pasti sedih karena tak ada aku lagi yang bisa kau jahili. Miyanhe.”
Seo Hae diam sejenak, menarik nafas. Air mata Seo Hae mulai menggenang di pelupuk matanya. Tapi dia berusaha keras untuk menahannya.
Perasaanku hampa. Ku tatap wajah orang-orang yang telah di salami Seo Hae, semua basah dengan air mata, kecualai Hee Chul Hyong yang diam tak bergerak.
“Songmin oppa, Ryeewook oppa, terima kasih telah mengajariku bermain piano. Kalian guru piano terbaikku”
“Siwon Oppa, kita tak bisa lari pagi lagi, miyanhe.”
“Kyuhyun Oppa, miyanhe aku selalu merepotkanmu dengan semua tugas rumahku. Kelak tidak akan mengulanginya lagi. Jongmal miyanhe.”
“Kibum-i oppa. Oppa-oppa video ini diambil oleh Kibum Oppaku tersayang. Kalian pasti iri karena dia yang paling sering menghabiskan waktu bersamaku belakangan ini. Kibum Oppa, gamsahamnida, kau menjaga rahasiaku sejak awal. Walau kau mengkhianati janji kita, tapi aku mengerti itu yang terbaik untukku. Aku lega karena tak perlu merahasiakannya lagi. Kibum Oppa gamsahamnida, karena kau selalu ada saat aku terluka. Kau tertawa bersama saat aku bahagia. Kau oppaku tersayang selamanya. Saranghae. Kau menangis oppa? Anieyo, jangan menangis, aku tak suka pria penangis. Hapuslah air matamu oppa.”
“Terakhir untuk oppa yang paling kucintai, Donghae Oppa.” Seo Hae menarik nafas sebentar. Angin mempermainkan rambut yang keluar dari topinya.
“Pertama kali melihatmu di rumah sakit setelah kecelakaan itu jantungku berdebar kencang, aku tak tahu kenapa. Perasaanku seperti melihat sungai yang bertemu laut. Aku selalu merasa aman dan nyaman bersamamu. Pelukanmu selalu hangat untukku. Senyum ceriamu tak akan bisa digantikan oleh siapapun. Aku kadang merasa kita memiliki kemiripan. Mata kita, hidung kita, bibir kita dan beberapa kebiasaan kita. Aku berharap kau benar-benar adalah oppaku, oppa kandungku.Hatiku selalu berkata kalau kita adalah orang dekat. Mungkin di kehidupan sebelumnya.”
Seo Hae memainkan jemarinya.
“Oppa, aku meminta Kibum Oppa merahasiakan penyakitku darimu, aku tak mau kau terganggu karena aku. Jadwalmu sudah sangat padat, ditambah mengurus wanita yang bernama Soo Bin itu, aku tak mau membebanimu lagi. Oppa aku tak mendorongnya, aku hanya menepisnya, tapi terlalu kuat hingga kepalanya terbentur meja. Miyanhe oppa, aku tak sengaja. Aku benar-benar iri padanya saat kau memapah dan mengobati lukanya. Oppa, saat itu kepalaku benar-benar berat dan sakitku tak tertahankan. Hatiku hancur saat kau membela wanita itu, Aku tahu kau salah paham padaku karena itu aku memaafkanmu. Bila nanti di kehidupan berikutnya aku dilahirkan kembali, aku ingin menjadi adikmu selama-lamanya.”
“Oppa bila aku tak ada, jangan pernah menangisi kepergianku. Jangan lagi membuatku kecewa, jangan lagi membuatku terluka. Oppa jaga kesehatan. Sesibuk apapun harus tetap makan yang teratur, jangan sampai sakit, karena aku tak ada di sisimu. Sarangaheyo Donghae Oppa. Saranghaeyo.”
“Saranghaeyo oppa-oppa. Sampai jumpa. ”
Seo hae melambaikan tangannya, dia tersenyum. Tak ada kesedihan, tak ada air mata, dan dia telah pergi untuk selamanya.

THE END


by : kkotsujulovers

1 komentar:

Harry~shindong~twins mengatakan...

Udah dibuka nih jalur komennya